Langit Bandung sepi! Lagi-lagi mendung melahap bintang-bintang itu, dan bulan yang kemarin hampir terlupakan pun dibuat muram olehnya.
Hari itu. Sepertinya... Aku pernah mengalaminya.
Situasi persis seperti itu, dimana hujan, angin dan petir jadi satu.
Langit sepertinya marah.
Entahlah...Tapi kurasa, suasana seperti itu adalah refleksi cuaca hatiku hari itu.
Aku menangis saat itu. Menangisi kedatanganmu yang lagi-lagi,
tak jadi.
Aku tidak ingin menangis, sebenarnya, tapi aku sungguh tak kuasa menahan bulir air mata pertamaku. Setetes mengalir. Kemudian bertetes-tetes, menganak mengikuti lekukan pipiku, dan.... jatuh.
Aku menangis...dan aku biarkan diriku tenggelam dalam isakan yang tersembunyi, sunyi.
Bagiku saat itu, menangis adalah obat penyembuh ampuh.
Langit pun seolah merasakan kesedihanku. Ia hitam dan menggumpal. Marah.
Saat tak sanggup lagi menahan amarah, meledaklah tangisan langit menjadi tetes-tetes deras, dan gelegar dalam guratan kilat menakuti semua orang, bahkan sanggup menghancurkan kokohnya beringin. Ia marah. Marahnya merontokkan dedaunan, menghempaskan atap-atap seng dan melontarkan yang lemah dan rapuh semakin jauh dan terjatuh dalam keasingan.
Dan, langit yang marah membiaskan tangisku hari itu.
Kemudian, saat amarah langit mereda, akupun lega. Menangis bersama langit yang sedang marah.
Masih,
menantimu dalam batas yang tak jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar